Pergi Membawa Diri
Buku 1 : Alang Alang Liar
Penulis : Parewa
Bab 2 : Pergi Membawa Diri
Matahari sudah hampir tenggelam sempurna di ufuk barat, malam merangkak menggantikan siang perlahan namun pasti.
Disebuah rumah sederhana, seorang ibu setengah baya terlihat sibuk berkemas, bersiap menyambut Maghrib. Ibu itu masih terlihat cantik meski dengan usia yang sudah mulai beranjak tua, Dia adalah ibu Halimah, ibu dari Zhahiri.
Klek!
Terdengar suara jendela ditutup dengan lembut oleh ibu Halimah, sebentar lagi azan magrib akan segera berkumandang. Sementara itu di bagian dalam rumah, tepatnya di dapur, seorang gadis yang teramat cantik sedang sibuk menyiapkan makan malam keluarga. Yang paling menyolok dari gadis yang cantik seperti peri itu adalah rambutnya yang terurai sampai ke tumit. Nama lengkapnya Zhahara Azzahra Chan biasa dipanggil Ara. Dia adalah adik Zhahiri, atau putri bungsu dari ibu Halimah, mereka tinggal bertiga saja di rumah itu, sedangkan ayah dari Zhahiri dan Zhahara sudah meninggal sejak 6 bulan yang lalu.
Baru saja ibu Halimah sampai pada jendela yang terakhir, seorang bapak bapak berjalan sedikit terburu buru menghampiri ibu Halimah, bapak itu mengenakan sarung, dan sajadah tersampir di pundaknya, sepertinya hendak ke mesjid.
Bapak itu bernama Syamsudin, dia adalah Abang dari ibu Halimah atau paman dari Zhahiri dan Zhahara.
"Limah!" Pak Syamsudin memanggil adiknya setelah jarak mereka cukup dekat.
"Eh Abang, abang mau ke masjid?" jawab ibu Halimah sambil menoleh ke arah orang yang menyapanya.
Pak Syamsudin mengangguk mengiyakan.
"Abang mau singgah dulu?" Ibu Halimah melanjutkan ramah.
"Tidak, saya sebentar saja" jawab pak Syamsudin datar.
"Nanti malam ba'da isya akan ada tamu, lengkap dengan niniak mamaknya, keluarga pak Hasim mau datang ke sini, tolong kau dan anak kamu bersiap" Pak Syamsudin menjelaskan maksudnya.
"Keluarga pak Hasim?" Ibu Halimah bergumam, dia bertanya tanya dihati.
"Ada perlu apa mereka datang ke sini?" Ibu Halimah langsung saja, dia tidak bisa terus menerus berada dalam situasi seperti itu.
"Itu karena perangai anak kamu si Zhahiri" suara pak Syamsudin agak meninggi kali ini.
Ibu Halimah mengernyitkan keningnya pertanda tidak mengerti maksud Abangnya.
Ibu Halimah semakin mengernyitkan keningnya.
"Sudahlah, nanti kamu juga akan tahu, saya tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang, sebentar lagi azan magrib" pak Syamsudin menegaskan dan memang begitu keadaannya.
"Baiklah" meskipun memiliki tanda tanya dihati, ibu Halimah mengiyakan saja apa yang di perintahkan Abangnya itu.
"Oh ya, jangan lupa kabarkan juga kerabat kita yang lainnya" pak Syamsudin meluaskan perintahnya.
Ibu Halimah hanya mengangguk.
"Saya pergi dulu" tidak jauh dari rumah Zhahiri, di sebuah mesjid suara azan magrib mulai di kumandangkan dan setelah berkata demikian pak Syamsudin juga bergegas pergi menuju ke masjid.
Ibu Halimah hanya mengangguk menyisakan tanda tanya yang belum terjawab.
Ibu Halimah memutar badannya, melangkah masuk kedalam, sesampainya didepan pintu.
"Ada apa bu?" Zhahara menyambut ibunya dengan pertanyaan, rupanya dia menyimak pembicaraan itu sejak tadi dari balik pintu.
"Entahlah, kata paman kamu nanti malam ba'da isya akan ada tamu dari keluarga pak Hasim" ibu dan anak itu berjalan keruang tengah sambil menjelaskan apa yang dia ketahui. Zhahara hanya diam mendengarkan.
"Entah apa yang diperbuat kakakmu Zhahiri, ibu juga belum mengerti" ibu Halimah masuk ke kamar. Setelah itu keluar lagi sambil menenteng seperangkat alat sholat. Sedangkan Zhahara hanya duduk terdiam di meja makan, otaknya berkerja keras.
"Sholat lah dulu, setelah itu kabari paman kamu Syahrun dan syahran, etek Hanifah juga kerabat lainnya"
"Kita berkumpul malam ini di sini" ibu Halimah selesai berwudhu, kemudian memberi perintah kepada anak bungsunya.
"Iya bu" jawab Zhahara sambil mengangguk patuh, kemudian tidak ada pembicaraan lagi. Ibu Halimah menjalankan ibadah magrib di kamarnya sendiri, sedangkan Zhahara bergegas kebelakang mengambil wudhu.
Jam sudah menunjukkan pukul 20:00 WIB, di rumah sederhana itu sekarang berkumpul dua keluarga. Keluarga Zhahiri di wakili oleh ibunya, tiga orang paman dan adik ibunya atau eteknya juga ada beberapa kerabat jauh lainnya. Sedangkan Zhahiri tidak tampak batang hidungnya sejak sore tadi, mungkin pemuda tampan itu belum pulang. Anak laki-laki di Minangkabau memang jarang menetap di rumah ibunya dan hal itu memang sudah biasa dalam tradisi.
Sedangkan keluarga pak Hasim diwakili oleh enam orang laki-laki paruh baya dan empat orang ibu ibu yang juga sudah hampir sama umurnya dengan ibu Halimah. Pak Hasim dan pak Hasan juga tampak bergabung di situ. Lengkap sudah rumah sederhana itu sekarang jadi penuh sesak oleh perundingan yang belum tentu ada kesepakatan.
"Jadi begitulah kejadiannya..." Pak Hasan menceritakan kejadian tadi sore di rumah besar itu, antara Reysa dan Zhahiri.
"Bahkan beberapa anak buah saya juga ikut menangkapnya, tapi dia berhasil kabur" Pak Hasim menimpali, raut wajahnya masih menyisakan kekesalan.
"Tidak mungkin! anak saya tidak mungkin melakukan hal yang buruk seperti itu" suara ibu Halimah mulai meninggi. Mukanya memerah menahan malu.
"Tapi itulah kenyataannya Halimah" Pak Hasim mencoba bersabar, dia tidak ingin bertengkar dengan calon besannya.
"Sabarlah dulu Halimah" Paman Zhahiri yang bernama Syahran berusaha menenangkan adiknya.
"Kita dengar dulu maksud dan tujuan tamu kita ini, setelah itu baru kita menimpali" Paman syahran bermaksud menengahi sambil mengangguk kepada saudara lainnya untuk meminta persetujuan. Anggukan di balas anggukan, tanda setuju.
Perundingan terus berlanjut, sementara keluarga Zhahiri hanya menjadi pendengar saja mereka belum memberikan jawaban.
"Jadi dari pada kita semua menanggung malu dan tentu saja kita juga tidak ingin martabat kedua keluarga ini hancur di depan masyarakat umum, alangkah lebih baiknya kita nikahkan saja mereka secepatnya" pak Hasim menjelaskan maksud sebenarnya terkait kedatangan keluarga itu kerumah Zhahiri.
Ibu Halimah ingin berbicara, tapi buru buru dicegah oleh pak Syamsudin dengan cepat.
Sunyi...
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya paman Zhahiri yang bernama Syahrun angkat bicara.
"Zhahiri adalah laki-laki berusia 21 tahun, dalam artian di sudah dewasa"
"Itu artinya setiap perbuatan yang dilakukannya, harus dia tanggung sendiri"
"Kami sudah mendengar setiap rincian kelakuannya pada putri tuan Hasim, tapi itu baru dari sebelah pihak" Pak Syahrun berbicara dengan sangat berhati-hati sekali agar tidak ada pihak yang tersinggung.
"Untuk menjunjung tinggi keadilan dan nilai-nilai, alangkah lebih baiknya kita dengar juga keterangan dari Zhahiri sendiri, setelah itu baru kita bisa mengambil sikap dan keputusan" Semua peserta sidang terdiam berusaha mencerna kalimat terakhir pak Syahrun.
"Jadi maksud bapak, kita harus menemukan Zhahiri terlebih dahulu?" Pak Hasan memperjelas.
"Iya benar sekali, tidak mungkin kita berunding dan membuat keputusan sementara pihak yang akan bertanggung jawab tidak kita libatkan" maksud pak Syahrun adalah Zhahiri yang sampai saat ini belum terlihat batang hidungnya.
Terjadi perdebatan panjang dan saling tarik ulur antara keluarga Zhahiri dan keluarga Reysa, namun pada akhirnya keluarga Reysa harus mengalah dan mereka terpaksa pulang dengan hati masygul.
"Zhahiri harus ditemukan terlebih dahulu" itulah kesepakatan akhir yang harus dipenuhi demi keadilan.
Setelah semua tamu tamu itu pulang, lampu lampu dimatikan, dan rumah sederhana itu kembali sepi seperti biasa.
Pukul 02.15 WIB dinihari.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan halus di jendela kamar tidur ibunya Zhahiri.
Tidak beberapa lama kemudian.
"Masuk dari pintu belakang kak, pintu dapur tidak dikunci" terdengar suara halus berbisik di balik jendela itu. Itu adalah suara Zhahara adik Zhahiri yang memberi instruksi kepada kakaknya.
Dengan pelan Zhahiri memutar kesamping rumah dan masuk dari pintu dapur yang tidak terkunci.
Sesampainya di dalam.
"Zha, apa yang kamu lakukan nak?" Ibu Zhahiri memburu anaknya dengan pertanyaan. Meskipun dia tidak yakin dengan tuduhan itu.
"Kak, apa benar kakak melakukan itu?" Zhahara juga bertanya tapi dia juga tidak percaya, karena dia sangat paham dengan kakaknya.
"Aku tidak melakukan itu bu" jawab Zhahiri menggeleng mantap.
"Jadi apa yang terjadi sebenarnya, tolong beritahu ibu" ibu Halimah mencari kebenaran dari mata anaknya.
"Aku dijebak bu..."
"Dijebak bagaimana?"
"Tolong ceritakan dan jangan ada yang ditutup-tutupi" tegas ibu Halimah.
"Awalnya aku ada di pangkalan Bu, tiba-tiba Reysa memesan makanan menggunakan jasa ojol, lalu....."
Zhahiri menceritakan semua, kejadian yang dialaminya sejak awal, sampai dia dijebak dan berhasil kabur dari rumah Reysa.
Ibu Halimah dan Zhahara diam menyimak sampai akhir, setelah terdiam beberapa saat.
"Lalu apa maksud keluarga itu menjebak kakak?" Zhahara bertanya, dia kebingungan belum paham maksudnya.
"Mungkin sudah terjadi sesuatu dengan gadis itu" ibu Halimah mulai membaca situasinya meskipun belum tahu pasti.
"Maksud ibu, Reysa itu sudah hamil duluan dan keluarganya berusaha untuk mencarikan suami untuknya?" Zhahiri memang sudah menduga ada yang tidak beres dengan gadis itu.
"Entahlah nak, tapi kita tidak bisa menuduh sembarangan"
Tiba-tiba... Ibu Halimah memegang kedua bahu Zhahiri.
"Nak, benar atau tidaknya semua kesaksianmu, ibu tidak pernah tahu karena ibu tidak melihat langsung kejadian itu"
"Tapi sebagai ibu, ibu juga tidak rela kamu menikah dengan cara seperti ini, apa lagi dengan seorang gadis yang ibu sendiri sudah tahu kelakuannya" ibu Halimah sedikit banyaknya memang sudah tahu kelakuan gadis anak orang kaya Hasim itu.
"Satu hal yang perlu kamu ingat, adikmu juga seorang gadis, jika kamu menyakiti gadis lain maka orang lain akan membalasnya pada adikmu"
"Jadi jangan sakiti hati perempuan nak, jika kamu memang melakukan itu, bertanggung jawablah sebagai laki-laki"
"Tapi jika kamu tidak pernah melakukan itu, kamu harus tegas menentukan sikap dalam mengambil keputusan" sebenarnya ibu Halimah sendiri sangat yakin anaknya tidak mungkin melakukan perbuatan itu, tapi sebagai ibu dia harus bijak menasehati anaknya.
"Aku tidak melakukan itu bu" kembali Zhahiri menegaskan sambil menggeleng.
Hampir setengah jam lamanya ibu dan anak itu berunding di tengah kesunyian malam, sampai akhirnya...
"Kamu harus menghindar dari kampung ini untuk sementara nak, mereka sedang berusaha keras mencari keberadaan mu"
"Iya bu" Zhahiri mengangguk sedih, dalam hati dia harus berpisah dengan ibu dan adik semata wayangnya.
"Jangan pikirkan ibu dan adikmu Zha, tidak ada yang bisa menyentuh kami di rumah ini kecuali atas keputusan langit" ibu Halimah seakan bisa membaca kesedihan anaknya.
Tidak berlebih-lebihan rasanya, keluarga Zhahiri adalah keluarga pesilat, tiga orang paman Zhahiri adalah pesilat tangguh, belum lagi keluarga lainnya, sedangkan keluarga Reysa adalah keluarga kaya dan jika terjadi benturan pasti akan beresiko tinggi dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pertumpahan darah, untuk menghindari kekacauan lebih lanjut, ibu Halimah menyarankan Zhahiri menghindar untuk sementara dari kampung itu, maksudnya sampai masalah selesai.
Beberapa menit kemudian, setelah selesai berkemas....
"Aku pergi dulu Bu" Zhahiri pamit.
"Pergilah nak, berhati-hati dengan sikap dan perbuatan di rantau orang, jangan lupa untuk tetap beribadah kepada-NYA, dan jika masalahnya sudah selesai cepatlah pulang" ibu Halimah memberikan wejangan terakhir kepada anaknya.
"Iya bu" Zhahiri mengangguk patuh.
Sekejap kemudian pemuda itu mulai melangkah mantap meninggalkan rumah itu, rumah yang selama ini menjadi tempat pulang baginya dan ibu beserta adiknya yang menjadi tempat berkeluh kesah dari semua masalah.
Setelah kepergian Zhahiri pecahlah tangis ibu Halimah dan Zhahara, ibu dan anak itu menangis saling berpelukan, lama kedua insan itu saling terisak dan saling peluk, hingga subuh menjelang.
Hati siapa yang tidak akan terluka, melepas darah dagingnya sendiri di tengah malam buta terpaksa harus pergi, pergi entah kemana.
Entahlah!
Posting Komentar untuk "Pergi Membawa Diri"